Harianpublik.com, Jakarta, Sabar Nababan bukanlah orang pertama yang mengaku-aku sebagai Tuhan atau membuat agama baru karena dipicu oleh pe...
Harianpublik.com, Jakarta, Sabar Nababan bukanlah orang pertama yang mengaku-aku sebagai Tuhan atau membuat agama baru karena dipicu oleh penyakitnya. Tetapi mengapa tak sedikit pasien skizofrenia yang mengalami keanehan seperti ini?
Sebelum Sabar, detikHealth mencatat di tahun 2015, ada pria bernama Indra Okta Permana (35) yang juga mengaku sebagai perwujudan Tuhan. Ia juga menyebarkan ajaran sesat dengan meminta orang-orang di sekitarnya untuk menyembah matahari dan tidak menjalankan ibadah shalat. Bahkan Indra dilaporkan meminta salah seorang warga untuk membakar kitab suci Alquran.
Belakangan diketahui bahwa Indra divonis mengidap skizofrenia oleh tim dokter dari RSUD R Syamsudin SH, Sukabumi.
Menurut dr Tun Kurniasih Bastaman, SpKJ(K), mengaku Tuhan atau Nabi merupakan salah satu gejala yang lumrah ditemukan pada pasien skizofrenia.
"Bagi kita itu adalah waham yang bersifat agama, tapi itu tidak dengan sendirinya berhubungan dengan keimanan atau agama. Itu kesalahan persepsi. Waham itu sebuah keyakinan yan salah. Temanya saja agama, tapi jangan dikaitkan bahwa yang salah itu agamanya," jelasnya.
dr Tun menambahkan, ketika pasien memiliki waham keagamaan seperti ini, bukan berarti pemicu penyakitnya adalah agama. Sebab pemicu gangguan jiwa bersifat multi faktor, semisal tinggal di lingkungan yang sehari-harinya membahas hal-hal berbau keagamaan.
Seperti halnya dicontohkan dr Tun terjadi pada tema waham pasien skizofrenia di masa lalu. Pada saat itu kebanyakan temanya adalah guna-guna, sebab dalam budayanya ada kepercayaan tentang guna-guna.
"Wahamnya saja yang berbeda, tapi pemicunya sama, patologinya sama. Yang berbeda adalah isinya, tergantung pada budaya dan latar belakang pendidikannya," imbuhnya.
Hal senada juga disampaikan dr Andri, SpKJ, FAPM dari RS Omni Alam Sutra. Hanya saja, waham yang paling sering ditemukan adalah waham kebesaran di mana orang merasa dirinya istimewa atau bisa juga ditunjukkan dengan pasien mengaku-aku sebagai Tuhan maupun Nabi.
"Waham keagamaan ini memang yang paling banyak. Nggak cuma di Indonesia, di luar negeri juga banyak," katanya saat dihubungi detikHealth, Selasa (22/3/2017).
Tetapi ia menegaskan ketika waham ini muncul pada pasien skizofrenia, bukan berarti pemicunya adalah masalah keagamaan yang dialaminya.
Sebab pada dasarnya skizofrenia menimbulkan distorsi atau penyimpangan persepsi sehingga yang bersangkutan seolah-olah memahami bahwa dirinya adalah Tuhan atau mendapatkan mukjizat.
Ditambahkan dr Andri, munculnya halusinasi dan delusi pada pasien skizofrenia sejatinya dipicu oleh peningkatan zat kimiawi dalam otak yang bernama dopamin. Untuk itu, pasien skizofrenia yang tergolong gangguan jiwa berat ini pun masih bisa diobati.
"Karena ada hubungannya dengan peningkatan zat kimiawi di otak yaitu dopamin, maka pengobatannya bertujuan untuk menyeimbangkan dopamin kembali," ungkapnya.
Hanya saja beragam tantangan masih sering ditemui dalam pengobatan skizofrenia, mulai dari terkait kesadaran pasien untuk berobat hingga adanya stigma yang mengurungkan niat seseorang dengan gangguan jiwa maupun keluarganya untuk mencari solusi pengobatan. (detik)
Sumber : Harian Publik - Mengaku Tuhan, Antara Ajaran Sesat dan Penyakit Kejiwaan
Sebelum Sabar, detikHealth mencatat di tahun 2015, ada pria bernama Indra Okta Permana (35) yang juga mengaku sebagai perwujudan Tuhan. Ia juga menyebarkan ajaran sesat dengan meminta orang-orang di sekitarnya untuk menyembah matahari dan tidak menjalankan ibadah shalat. Bahkan Indra dilaporkan meminta salah seorang warga untuk membakar kitab suci Alquran.
Belakangan diketahui bahwa Indra divonis mengidap skizofrenia oleh tim dokter dari RSUD R Syamsudin SH, Sukabumi.
Menurut dr Tun Kurniasih Bastaman, SpKJ(K), mengaku Tuhan atau Nabi merupakan salah satu gejala yang lumrah ditemukan pada pasien skizofrenia.
"Bagi kita itu adalah waham yang bersifat agama, tapi itu tidak dengan sendirinya berhubungan dengan keimanan atau agama. Itu kesalahan persepsi. Waham itu sebuah keyakinan yan salah. Temanya saja agama, tapi jangan dikaitkan bahwa yang salah itu agamanya," jelasnya.
dr Tun menambahkan, ketika pasien memiliki waham keagamaan seperti ini, bukan berarti pemicu penyakitnya adalah agama. Sebab pemicu gangguan jiwa bersifat multi faktor, semisal tinggal di lingkungan yang sehari-harinya membahas hal-hal berbau keagamaan.
Seperti halnya dicontohkan dr Tun terjadi pada tema waham pasien skizofrenia di masa lalu. Pada saat itu kebanyakan temanya adalah guna-guna, sebab dalam budayanya ada kepercayaan tentang guna-guna.
"Wahamnya saja yang berbeda, tapi pemicunya sama, patologinya sama. Yang berbeda adalah isinya, tergantung pada budaya dan latar belakang pendidikannya," imbuhnya.
Hal senada juga disampaikan dr Andri, SpKJ, FAPM dari RS Omni Alam Sutra. Hanya saja, waham yang paling sering ditemukan adalah waham kebesaran di mana orang merasa dirinya istimewa atau bisa juga ditunjukkan dengan pasien mengaku-aku sebagai Tuhan maupun Nabi.
"Waham keagamaan ini memang yang paling banyak. Nggak cuma di Indonesia, di luar negeri juga banyak," katanya saat dihubungi detikHealth, Selasa (22/3/2017).
Tetapi ia menegaskan ketika waham ini muncul pada pasien skizofrenia, bukan berarti pemicunya adalah masalah keagamaan yang dialaminya.
Sebab pada dasarnya skizofrenia menimbulkan distorsi atau penyimpangan persepsi sehingga yang bersangkutan seolah-olah memahami bahwa dirinya adalah Tuhan atau mendapatkan mukjizat.
Ditambahkan dr Andri, munculnya halusinasi dan delusi pada pasien skizofrenia sejatinya dipicu oleh peningkatan zat kimiawi dalam otak yang bernama dopamin. Untuk itu, pasien skizofrenia yang tergolong gangguan jiwa berat ini pun masih bisa diobati.
"Karena ada hubungannya dengan peningkatan zat kimiawi di otak yaitu dopamin, maka pengobatannya bertujuan untuk menyeimbangkan dopamin kembali," ungkapnya.
Hanya saja beragam tantangan masih sering ditemui dalam pengobatan skizofrenia, mulai dari terkait kesadaran pasien untuk berobat hingga adanya stigma yang mengurungkan niat seseorang dengan gangguan jiwa maupun keluarganya untuk mencari solusi pengobatan. (detik)
Sumber : Harian Publik - Mengaku Tuhan, Antara Ajaran Sesat dan Penyakit Kejiwaan