Harianpublik.com, JAKARTA - Permintaan Jokowi untuk memisahkan agama dari politik bukanlah hal baru bagi bangsa ini. permintaan Jokowi terse...
Harianpublik.com, JAKARTA - Permintaan Jokowi untuk memisahkan agama dari politik bukanlah hal baru bagi bangsa ini. permintaan Jokowi tersebut pernah diucapkan petinggi PKI DN Aidit dan juga Soekarno.
Permintaan Jokowi, Aidit dan bahkan Soekarno untuk memisahkan agama dengan politik, seolah justru menjadi sebuah konfirmasi atas ucapan Muhammad Natsir, seorang ulama, pejuang kemerdekaan dan seorang politisi muslim jempolan.
Natsir pernah berucap,
"Islam beribadah, akan dibiarkan, Islam berekonomi, akan diawasi, Islam berpolitik, akan dicabut seakar-akarnya".
Ucapan tersebut diungkap Natsir saat negeri ini di ambang krisis kehancuran akibat ulah elite yang ingin mengubah ideologi negara.
Bagi Natsir, agama (baca: Islam) tidak dapat dipisahkan dari negara. Ia menganggap bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam.
Dalam Capita Selecta, sebuah buku yang berisi tulisan-tulisan Natsir, ada beberapa pandangan Natsir mengenai hubungan Islam, politik serta negara yang sangat menarik untuk direnungkan, terutama saat pemerintah negara ini ingin mencoba mengubah negara berdasarkan ketuhanan menjadi negara sekuler.
Natsir menyatakan, bahwa sebagaimana kaum nasrani, fasis maupun komunis yang memiliki falsafah hidup atau ideologi, kaum muslimin pun memilikinya.
Natsir lalu mengutip nas Al Quran yang dianggap sebagai dasar ideologi Islam, (yang artinya), “Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.” (QS 51: 56).
Bertitik tolak dari dasar idiologi Islam inilah, Natsir menarik kesimpulan, cita-cita hidup seorang Muslim di dunia ini tak lebih hanya ingin menjadi hamba Allah agar mencapai kejayaan dunia dan akhirat kelak. (Muhammad Natsir, Capita Selecta, hlm. 436).
Untuk meraih puncak ketaatan sebagai hamba Allah, ada serangkaian tuntunan yang diberikan Allah. Tuntunan, aturan atau cara hidup tersebutlah yang dikenal sebagai agama.
“Aturan atau cara kita berlaku berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan kita dan cara kita yang berlaku berhubungan dengan sesama manusia. Di antara aturan-aturan dan cara kita yang berlaku berhubungan dengan sesama manusia. Di antara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama makhluk itu, ada diberikan garis-garis besarnya seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang. Yang akhir ini tak lebih-tak kurang, ialah yang dinamakan orang sekarang dengan urusan kenegaraan.” (Muhammad Natsir, Capita Selecta, hlm. 436).
Natsir beranggapan, ketidakpahaman atau kesalahpahaman terhadap negara Islam, negara yang menyatukan agama dan politik, pada dasarnya bersumber dari kekeliruan memahami gambaran pemerintahan Islam.
“Kalau kita terangkan, bahwa agama dan negara harus bersatu, maka terbayang sudah di mata seorang bahlul (bloody fool) duduk di atas singgasana, dikelilingi oleh “haremnya” menonton tari “dayang-dayang”. Terbayang olehnya yang duduk mengepalai “kementerian kerajaan”, beberapa orang tua bangka memegang hoga (pipa, red)".
Sebab memang beginilah gambaran ‘pemerintahan Islam’ yang digambarkan dalam kitab-kitab Eropa yang mereka baca dan diterangkan oleh guru-guru bangsa barat selama ini. Sebab umumnya (kecuali amat sedikit) bagi orang Eropa: Chalifah = Harem; Islam = poligami.” (Muhammad Natsir, Capita Selecta, hlm. 438).
Secara implisit Natsir menilai bahwa pandangan “negara Islam” seperti tertulis di ataslah yang terdapat dalam pandangan Soekarno maupun Kemal Ataturk.
Turki pada masa pemerintahan para sultan dan kekhalifahan Usmaniyah terakhir bukanlah negara atau pemerintahan Islam, sebab para pemimpinnya menindas dan membiarkan rakyatnya bodoh dengan memakai Islam dan segala bentuk ibadah-ibadahnya sebagai tameng belaka.
Jadi, Islam memang tidak pernah bersatu dengan negara sebagaimana gambaran yang diduga Soekarno maupun Kemal.
Sikap mendukung pemahaman yang salah tentang negara Islam, yang kemudian melahirkan gagasan pemisahan agama dari negara, jelas tidak tepat.
“Maka sekarang, kalau ada pemerintahan yang zalim yang bobrok seperti yang ada di Turki di zaman Bani Usman itu, bukanlah yang demikian itu, yang kita jadikan contoh bila kita berkata, bahwa agama dan negara haruslah bersatu. Pemerintahan yang semacam itu tidaklah akan dapat diperbaiki dengan “memisahkan agama” daripadanya seperti dikatakan Ir. Soekarno, sebab memang agama, sudah lama terpisah dari negara yang semacam itu.” (Muhammad Natsir, Capita Selecta, hlm. 440).
Natsir menegaskan bahwa negara bukanlah tujuan akhir Islam. Negara hanyalah sebuah alat untuk merealisasikan aturan-aturan Islam yang terdapat dalam Al Quran dan sunah. Semua tuntunan dalam Islam tidak ada artinya jika tidak ada negara. Negara di sini berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan “kesempurnaan berlakunya undang-undang ilahi, baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri (sebagai individu) ataupun sebagai anggota masyarakat.” (Muhammad Natsir, Capita Selecta, hlm. 442).
Menyinggung mengenai nama penguasa negara Islam, Natsir tidak bersikeras menamakannya “Chalifah”.
“Titel Chalifah bukan menjadi syarat mutlak dalam pemerintahan Islam, bukan conditio sine quo non. Cuma saja yang menjadi kepala negara yang diberi kekuasaan itu sanggup bertindak bijaksana dan peraturan-peraturan Islam berjalan dengan semestinya dalam susunan kenegaraan baik dalam kaedah maupun dalam praktik.” (Muhammad Natsir, Capita Selecta, hlm. 443).
Yang menjadi syarat untuk menjadi kepala negara Islam adalah, “Agamanya, sifat dan tabiatnya, akhlak dan kecakapannya untuk memegang kekuasaan yang diberikan kepadanya, jadi bukanlah bangsa dan keturunannya ataupun semata-mata inteleknya saja.” (Muhammad Natsir, Capita Selecta, hlm. 448).
Terhadap penguasa negara terpilih, umat mempunyai kewajiban mengikutinya selama ia benar dalam menjalankan kekuasaannya. Bila menyimpang, umat berhak melakukan koreksi atau mengingkari penguasa negara.
Kebesaran pemikiran Natsir mengenai hubungan Islam dan negara (baca: politik) tidak bisa dipandang sebelah mata.
Bagi mereka yang menganggap Natsir bagian dari kelompok Islam "radikal", silakan berpikir ulang. Sebab fakta sejarah mengungkap, Natsir adalah tokoh di balik "Mosi Integral", sebuah upaya menyatukan seluruh elemen Indonesia ke dalam satu negara yang utuh, tak terpecah dan berserikat. Natsir lah yang mengembalikan Indonesia kepada format negara kesatuan dari bentuk negara serikat.
Torehan Natsir di dunia politik tak main-main. Natsir adalah pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi. Di dalam negeri, ia pernah menjabat menteri dan perdana menteri Indonesia, sedangkan di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.
Lantangnya suara Natsir membuatnya memilih mundur dari tampuk pemerintahan pada tahun 1951, hanya setahun setelah Natsir dipercaya menjadi perdana menteri kelima di negeri ini.
Kerasnya peringatan Natsir pada pemerintahan Soekarno yang pada saat itu berakrab-akrab ria dengan Komunis, membuatnya dikirim ke penjara dan partai Masyumi yang didirikannya dibubarkan.
Natsir tak berhenti berjuang. Ini dibuktikan dengan mendirikan lembaga dakwah yang bernama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).
“Dulu kita berdakwah melalui politik, sekarang kita berpolitik dengan berdakwah,” demikian pernyataan Natsir.
Natsir dibebaskan tahun 1966. Rezim telah berganti, namun Natsir tak surut selangkahpun. Oleh Rezim Orba, Natsir pun dicekal.
Natsir kini memang sudah berpulang. Namun warisan integralnya tetap masih bisa kita rasakan melalui lembaga-lembaga pendidikan yang memadukan pendidikan akademik dan penguasaan ilmu agama yang kini dikenal dengan nama Sekolah Integral (SDIT, SMPIT dll). (*)
Sumber : Harian Publik - M. Natsir: Islam Berpolitik Akan Dicabut Seakar-akarnya!