Gembong Komunis Indonesia DN AIDIT Jakarta, Harianpublik.com, Agama Dalam Politik Dan Politik Dalam Agama SAYA ingin membuka tulisan ini den...
Gembong Komunis Indonesia DN AIDIT |
Jakarta, Harianpublik.com,
Agama Dalam Politik Dan Politik Dalam Agama
SAYA ingin membuka tulisan ini dengan mengutip pernyataan tokoh PKI DIPA NUSANTARA AIDIT yang diilhami pernyataan leluhur komunis KARL MAX yang berbunyi : "Agama adalah candu massa rakyat." Sesingkat itu.
Aidit adalah aktivis PKI pada 1948, ia menikahi Soetanti secara Islam. Dan tak tanggung-tanggung, penghulu yang menikahkan mereka adalah KH. Raden Dasuki, sesepuh PKI Solo. Ada anolami kejiwaan bagi Aidit yang menjadi aktivis Komunis tapi menikah secara Islam, karena berdasar informasi, Aidit sebelumnya adalah seorang muadzin, inilah penyimpangan dalam sikap Aidit dan hebatnya Komunis merusak mental melalui Revolusi Mental-nya. Mengubah orang baik menjadi tidak baik.
Pernyataan Komunis tersebut kemudian menjadi terangkat dalam ingatan ketika Presiden Jokowi dalam pidatonya menyatakan untuk memisahkan Politik dengan Agama. Saya paham kemana arah Presiden Jokowi dengan mengangkat pernyataan itu. Wajar, karena Jokowi adalah kader PDI Perjuangan yang saat ini mendukung Basuki Tjahaja Purnama sang terdakwa penodaan agama Islam menjadi Calon Gubernur Jakarta 2017-2022. Menjadi sangat lumrah pernyataan itu sebagai bentuk dukungan dan keberpihakan kepada Cagub PDIP tersebut.
Yang menjadi tidak lumrah adalah ketika pernyataan itu disampaikan Jokowi dalam kapasitasnya sebagai Presiden. Presiden tidak boleh salah, meski secara pribadi Jokowi boleh salah. Pilihannya cuma satu, kalau mau jadi presiden, jangan salah, kalau mau salah terus menerus, silahkan jangan jadi Presiden. Pernyataan pemisahan agama dengan politik itu menjadi erat hubungannya dengan pernyataan Karl Max tentang agama. Meski memang pernyataan Karl Max tersebut didasari oleh era Eropa dan Barat yang menjadikan Agama untuk meredam atau menina bobokan masyarakat dengan penderitaannya.
Dengan agama, rakyat di Eropa dan Barat menjadi lupa kegagalan raja dan pemerintah menyejahterakan rakyatnya. Itulah yang melatar belakangi pernyataan tersebut sehingga Komunis menginginkan pemisahan dan menjauhkan agama dari politik. Karena agama telah dijadikan sebagai alat politik.
Lantas mengapa Jokowi ingin memisahkan agama dengan politik? Saya melihat perbedaan antara yang mendasari pernyataan Karl Max dengan pernyataan Jokowi. Karl Max ingin memisahkan agama dari politik supaya rakyat bangkit, dan Jokowi ingin memisahkan agama dengan politik supaya rakyat bungkam, karena rakyat telah bangkit dengan kekuatan Agama. Ini tentu menakutkan bagi kekuasaan yang rapuh.
Semangat memisahkan agama dengan politik itu jelas basisnya adalah pemikiran komunis. Sehingga pernyataan Presiden Jokowi tersebut adalah sebuah kesalahan besar karena UUD 45 sebagai Konstitusi bangsa Indonesia menyatakan bahwa negara berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, negara dalam menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara harus dilandasi oleh nilai-nilai Ketuhanan yang tentu hanya didapat melalui agama. Nilai-nilai Ketuhanan tentu tidak akan didapat dari paham komunis yang bahkan Atheis, tidak mengakui eksistensi Tuhan. Jokowi mungkin terjebak oleh para pembisik atau staff berhaluan kiri di Istana sehingga Jokowi kembali harus salah.
Agama dan politik tidak bisa dipisahkan, karena politik harus dilandasi nilai-nilai Ketuhanan dan etika serta adab yang hanya didapat dari agama. Yang tidak boleh adalah memperalat agama untuk tujuan politis, memperalat agama untuk meraih kekuasaan seperti yang dulu pernah dilakukan oleh Jokowi saat Pilpres, umroh dan pakai sorban, itu memperalat agama untuk tujuan politik, itu yang tidak boleh.
Menjadikan agama menjadi isu politik adalah salah, tapi agama dalam politik itu wajib supaya politik menjadi berlandaskan Ketuhanan, beradab dan beretika. Memperalat politik untuk menjauhkan agama dari kehidupan manusia juga tidak boleh, karena politik harus berlandaskan nilai-nilai luhur agama. Itulah yang seharusnya disampaikan Presiden, bukan memisahkan politik dengan agama, karena itu aliran Komunis yang kental.
Menuntut untuk menghukum penista agama itu adalah sah dilakukan, dan itu bukan mempolitisasi agama hanya karena waktunya bersamaan dengan pilkada. Maka itu untuk semua pasangan calon Pilkada khususnya Jakarta, berhentilah menggunakan isu agama sebagai bahan kampanye, pisahkan pilkada dengan pemegakan hukum, biarkan rakyat memilih sesuai nilai-nilai Ketuhanan yang didapatnya dari agama yang diyakininya dan tidak boleh dipolitisasi.
Semoga Presiden Jokowi segera menyadari, bahwa Presiden tidak boleh salah, harus paham sejarah. Secara pribadi Jokowi boleh salah, tapi sebagai Presiden tidak boleh salah. Jika masih ingin terus salah, silakan jangan jadi Presiden, karena bangsa dengan 250 juta lebih penduduknya ini yang menjadi taruhan atas sebuah kesalah bertindak dan berbicara oleh Presiden.[mol/MMC]
Ferdinand Hutahaean
Aktivis Rumah Amanah Rakyat Bela Tanah Air
Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI)
Sumber : Harian Publik - Direktur Eksekutif EWI : Memisahkan Agama dengan Politik Jelas Pemikiran Komunis!